PERMINTAAN TERAKHIR
By
Unknown
CERITA
0
komentar
Cerita by HILMY Lilhero
At 2012
“Kak hilmy, bangun kak, udah siang!!” Adikku mengguncang-guncang tubuhku yang masih asyik meringkuk dibalik selimut sambil memeluk guling.
“ahh kakak, kebluk banget sihh mau ke kampus gak kak?” Guncangnya lagi membuat aku kesal karena bibir mungilnya berteriak tepat di telingaku.
“Acep, berisik banget ya pagi-pagi!” bentakku yang terpaksa bangun karena ulahnya barusan.
“Ini sudah siang kak, lihat tuh jam gimana sih?” adikku menunjuk jam weker di meja tepat di samping kasurku.
“ujukupret” aku langsung terhenyak dari tidurku, Demi melihat waktu sudah jam Lima lebih Dua jam. Hari ini ada mata kuliah jam 7. tapi ada sesuatu yang aneh, kenapa jam analog ku gak berdering, perasaan sudah di set jam 6 pagi, dengan penuh penasaran aku langsung mengecek jam weker ku
“Aceppppppppp”
Mendengar teriakanku, adikku langsung terbirit keluar kamar sambil cekakakan, Rupannya si jail itu sudah mengubah settingan alarmku jadi jam 9, emang dasar nyebelin tuh anak, anaknya emang super jail. ini bukan ulah pertamanya, memang ada aja ulah anak unyu ini. Gak aku, mama sama papa juga udah termasuk korban kejailannya. Dia baru kelas satu SMP umurnya 12 tahun. Dia biasa aku panggil deblo (dede belo) karena matanya itu belo, sama sih aku juga belo tapi kebeloan aku kalah dari belonya dia.
“sudahlah mi, lagian kamu kebiasaan susah bangun, makannya jangan Cuma ngandelin jam weker doank, kan hape kamu juga ada alarmnya” nasehat mama alfi di meja makan ketika kami sedang sarapan, sedangkan adikku masih saja cekikikan di kursi, dia memang sedang libur sekolah
“iya mah, tapi jam weker ku diiii” omongan ku segera di potong acep yang duduk di sebelahku.
“iyaa tuh kak, kakak kan males bangunnya suka kesiangan” potong adikku
“bukan gitu mah, tapiii” penjelasanku yang kini di potong sama papah ali
“udah berisik hilmy, acep setiap hari kalian ribut mulu, cepetan hilmy entar kesiangan, papah juga udah telat ke kantor” potong papah Ali yang membuat aku dan acep berhenti berdebat.
Aku pun buru-buru nyelsain sarapan dengan meminum segelas air putih dan satu gigit roti isi.
“mah, hilmy berangkat dulu ya mah” aku mencium tangan mamahku yang bawel ini, kemudian aku menghampiri Acep
“awas yaa cep, entar kakak balas lebih kejam, lebih tajam setajam golok” bisikku ke telinga acep. Acep hanya tertawa kegirangan, aku cubit aja pipinya eh dia malah kabur, sepertinya dia sudah tau, soalnya setiap pagi pasti tuh aku cubit pipinya, emang dasar nyebelin.
Akhirnya aku berangkat ke kampus, dengan langkah tergesa-gesa. Dan seperti biasa meskipun kami ribut tapi kami tidak lupa untuk bersalaman khas kami.
***
“mi, adek lo mana? katanya lo mau ngajak dia” dengan langkah tergesa Sarah menghampiriku yang sudah menunggunya dari tadi. Sarah itu sahabat aku, aku dan Sarah emang sudah janjian di mall ini, kami sengaja memilih foodcurt di lantai paling atas sebagai tempat pertemuan kami, selain bisa santai, kami juga bisa browsing dan Interneta sepuasnya, karena dilengkapi dengan fasilitas Wi Fi. (Sponsor)
“Jauh udah nunggu lama gue, sampe nih pantat akaran yang elu tanyain adek gue!” rututku kesal yang langsung disambut tawa kecil sahabatku itu.
“yaa maaf abisnya gue kangen banget sama si deblo, tadi di jalan gue kejebak macet brow. Oh ya, katanya ada yang mau di ceritain, apaan tuh?”mendengar colettahannya, aku langsung membuang ekspresi cemberutku kemudian menarik nafas sejenak.
“gini rah, akhir-akhir ini ada yang aneh dengan adek gue, kamar gue sama kamar dia kan bersebelahan, beberapa hari ini gue sering denger acep ngomong sendirian dikamarnya, kaya tadi malam dia masih ngobrol sama seseorang, kayanya obrolannya itu ada hubungan sama gue”aku mulai bercerita apa yang aku alami tadi malam, ya akhir-akhir ini acep jadi aneh suka ngomong sendirian.
“yaa hilmy, dia kan masih kecil. Di usianya yang sekarang itu hal yang wajar, biasanya mereka punya teman sendiri, yaitu yang ada dalam pikirannya, gue juga waktu kecil gitu suka ngomong sendirian,” Sarah Nampak tenang mendengar ceritaku.
“Tapi rah, teman acep itu kaya yang benar-benar ada. Gue ngerasain sesuatu yang aneh dengan sikap adik gue”lanjutku cemas.
“sudahlah mi, dia gak apa-apa koq, percaya sama gue. Dia tuh calon handal abad ini” terangnya bangga sambil terkikik, aku hanya tersenyum kecil melihat ulahnya. Pikiranku masih diselimuti pertanyaan-pertanyaan aneh tentang adikku. Sebenernya aku sudah bicarain hal ini sama mamah alfi, dan jawabannya percis seperti Sarah barusan, katanya dulu juga aku begitu suka ngomong sendirian.
“Hai acep, dari mana saja kamu!?”
“Hai kak Sarah, barusan acep baru maen dari sana”adikku menunjuk suatu tempat permainan yang ada di sebelah kanan tempat kami duduk.
“kak arah, katanya kemaren mau beliin acep Es krim Magnum Gold (*Sponsor), mana nih?”
“hush, kamu masih inget aja yaa? Itu kan janji kak arah setahun yang lalu”aku pura-pura menegur adikku, niatnya sih mau menyindir arah,
“iyaa deh deblo, entar kakak beliin” Ujar arah seraya mencubit kecil pipi adikku.
“oh ya cep, semalam kamu mimpi apa? Koq sampai kamu ngomong sendirian!” mendengar pertanyaanku, adikku langsung terhenyak, dia memandangku sejenak dan menyeruput milkshake pesenannya tadi di meja, aku dan arah hanya memperhatikan ulah acep, sambil menunggu jawabanya.
“Namanya wardah, dia teman baruku, dia seumuran dengan ku, setiap malam wardah datang ke kamarku, kami slalu main sama-sama, aku ajarin dia maen game di laptop, atau ngobrol, pokoknya dia bakalan pergi kalau aku sudah ngantuk”penjelasan adikku membuat aku tercengang, Sarah memandangku sambil mengerutkan keningnya mengangkat bahu tanda tak mengerti.
“apa dia nyata, atau hanya ada dalam imajinasi kamu saja cep?”Tanya sarah mulai penasaran.
“tentu saja nyata, memangnya kenapa sih kak?”volume suara adikku sedikit mengeras, nampaknya dia tidak suka kami mengintrogasinya.
“kakak ngerasa aneh aja cep, dia datang dari mana coba, koq tiba-tiba muncul dikamar kamu?”aku juga ingin semakin tahu, apa munkin sahabat adikku itu hantu? Hihiiyyy
“Acep juga gak tau kak, kadang dia muncul dari lemariku, katanya dia seharian ngumpet disitu, kadang mengetuk pintu dulu, pokoknya sebelum jam dua belas malam dia slalu mengunjungiku”tak ada keraguan di wajah adikku ketika menceritakan teman misteriusnya itu. Tampaknya dia tidak sedang mengarang cerita. Aku jadi khawatir dengan keadaan adikku, siapa sebenarnya temannya itu yang bernama wardah?
***
“wardah, kakakku nggak mungkin mau aku ajak liburan ke pantai. Dia itu trauma sama namanya ombak, pokoknya pasti nggak mau deh,” suara adikku dari kamar sebelah kembali terdengar sayup-sayup di telingaku. Tidak ada sahutan dari lawan bicaranya, aku hanya mendengar suara acep, sepertinya adikku sedang menanggapi perkataan teman barunya yang masih misterius itu. Ku lirik jam wekerku, setengah dua belas malam.
“wardah, jangan donk. Kamu jangan kaya gitu. Mama, papa sama kakakku bisa marah sama aku”lagi-lagi kata-kata yang tidak jelas maksudnya, terlontar dari mulut acep. Karena penasaran, aku beranikan diri untuk menengok ke kamarnya. Aku ingin tahu siapa yang berbincang dengan adikku sebenarnya.
Aku berjalan menuju kamar acep. Sesampainya didepan pintu, aku tidak langsung masuk. Ku rapatkan telingaku di pintu dan sedikit tersentak kaget karena mendengar suara benda jatuh dari dalam.kedengarannya cukup keras ditelingaku.
“BRUKK!!”serta merta aku langsung membuka pintu kamar acep yang memang dibiarkan tidak terkunci.
Hening, hanya suara detak jarum jam dinding bergambar Angry Bird yang aku dengar disana. Aku menatap sekeliling ruangan, sebuauh buku tebal Nampak tergeletak dilantai dekat rak buku. Mungkin itu benda yang aku dengar jatuh tadi. Sedangkan adikku dengan pulasnya terlentang di tempat tidur. Seperti biasa tidurnya gak bisa diam. Bukannya kepala yang ada dibantal, malah kakinya, selimutnya ada dibawah kasur, gulingnya juga, seprainya juga tidak kalah berantakan. Wah…wah…wahhh dasar, tapi acep kalo dibangunin gampang gak susah kaya kakaknya ini.
Kudekati tubuh adikku, wajahnya tampak kelelahan. Kata orang-orang adikku ini sangat lucu da menggemaskan, tapi bagiku adikku ini adik yang bawel nyebelin dan jail. Anak 12 tahun yang hobi banget sama namanya Bola Voly, padahal aku gak suka Bola Voly, lebih suka ke sepak bola tapi gak bisa maennya. Banyak perbedaan dan kesamaan dari kami, perbedaannya adalah dalam dunia bola dia suka Barcelona, aku suka Manchester United, dalam dunia music dia suka lagu Pop, aku suka lagu R&B dan HipHop. Tapi kami juga punya kesamaan yaitu sama-sama bawel, jail dan nyebelin dan kalo berangkat suka pake sepatu didalam rumah, kalo mandi suka lupa bawa handuk, kalo BAB ceboknya harus pake sabun. Di balik perbedaan itu, kami slalu kompak meski kami suka beda pendapat.
Ku dekatkan taganku ke wajahnya,Ku cubit pipi adikku pelan, ternyata perbuatanku membuatnya terbangun.
“kak hilmy?koq ada di kamar acep kak?ngapain”setengah mengantuk, adikku berbicara kepadaku. Adikku mengeliat dan menutupi mulutnya yang mulai menguap.
“tadi kakak denger kamu lagi ngobrol nggak tahu sama siapa. Makanya kakak kesini buat mastiin siapa sebenarnya yang sedang berbicara sama kamu cep,” adikku bangkit dari tidurnya, dia duduk dikasur lalu memandangku lekat-lekat.
“dia sudah pergi kak”sahutnya pendek. Aku semakin bingung dibuatnya. Secepat itukah teman barunya menghilang?padahal tadi diluar kamar, aku masih mendengar obrolannya meskipun telingaku tidak menangkap suara lawan bicara adikku.
“kak hilmy, acep boleh minta sesuatu gak?”aku tersentak dari dunia khayalku.
“minta apa cep”
“mmh.. minggu besok temenin acep ke pantai ya kak?, acep pengen banget liburan ke pantai, kakak mau yaa?”pintanya memelas.
“Pantai? Cep, kamu tahu sendiri kan? Kakak itu phobia sama namanya pantai, kakak sudah nggak mau lagi kesana, kakak takut cep, melihat pantai di tv aja kakak ngeri apalagi datang langsung”
“tapi kak, pantai itu indah. Lagipula wardah pengen banget kakak pergi kesana. Dia nyuruh acep buat ngajak kakak ke pantai, kalau enggak dia bakalan jahat sama aku kak” obrolannya tampak serius, tapi aku masih tidak percaya dengan celotehan adikku.
“dulu pantai itu indah seperti surga, tapi sekarang pantai itu tempat yang mengerikan. Memangnya siapa wardah itu beraninya nyuruh kakak. Pokoknya kakak nggak mau, kalo kamu tetep ngotot kamu ajak aja mama sama papa”
“nggak bisa kak, wardah pengennya kakak ikut”
“wardah lagi, wardah lagi. Sudah lah cep, jangan bicara omong kosong terus, weardah itu cuman teman khayalan kamu, wardah itu nggak nyata”aku tidak menggubris ucapannya
“sudahlah, kakak ngantuk. Kakak mau tidur”aku mengambil bantal guling berwarna merah yang terletak dibawah kasur. Ku rebahkan tubuhku diatas tempat tidur adikku. Serta merta, adikku langsung memprotes ulahku.
“idiiih, kak hilmy, itu kan bantal guling acep. Kak hilmy nyempitin aja nih, acep tidur dimana kak?”teriaknya sembari berusaha merebut bantal gulingnya dari pelukanku. Namun aku mendekap guling kesayangnya yang bergambar barca, aku mendekapnya dengan erat sambil membelakanginya.
“kak hilmy nyebelin”
“hahh ciyuss?? Miapa?, bodo amat ahh, kakak ngantuk nih sudah kamu tidur dibawah aja, lagian tidur kamu itu gak bisa diam, besok pagi juga tahu-tahu kamu udah bangun di bawah, terus guling ini juga buat apa ntar kamu tending-tendang nih guling, kasur sendiri dibikin kapal pecah.. hmmm.. selimutnya juga kakak pakai juga ahh” aku menarik selimut adikku, sempat heran karena tidak suara teriakan protes dari adikku. Ku balikan badanku, eh gak tahunya udah tidur pulas disampingku. Jadi dari tadi aku ngoceh sendirian?Huhhhh dasar adek jail. Wkwkwkwk
***
Hari-hari berikutnya banyak kejadian aneh yg menimpa adikku. Pagi-pagi sebelum berangkat sekolah, pasti ada aja ulahnya. Sepatunya hilang sebelah lah, seragamnya tiba-tiba kotor lah, padahal tuh seragam baru kering kemarin dan semalam baru disetrika.
“Ini pasti ulahnya wardah. Tuh kan bener kan kak? Dia jadi jahat sama aku” teriaknya panic, karena pagi ini, giliran buku PR nya yang raib dari tasnya.
“lahh koq jadi salah kakak? Kamu lupa naro kali cep, coba cari yang bener” ketusku kesal,sebab setiap hari ada aja yang di ributinya dan dia selalu menyalahkan wardah dan aku. Katanya gara-gara aku gak mau di ajak ke pantai, wardah jadi marah sama dia. Huhh, seenaknya saja nyalahin orang lain.
Hari terus berganti dengan berbagai kejadian menyebalkan yang menimpa adikku. Aku tetap tidak menghiraukannpernyataannya yang aku anggap konyol. Mana mungkin teman misteriusnya itu tiba-tiba muncul lalu membuat ulah di rumah ini? Apa itu sangat sunnguh tidak masuk akal? Namun beberapa hari kemudian, giliran aku mengalami kejadian-kejadian aneh. Setiap pulang kuliah, kamarku slalu berantakan. Buku-buku yang ada di rak bertebaran dimana-mana. Ketika aku menanyakannya kepada seluruh penghuni rumah, tak seorangpun yang mengakui perbuatan konyol itu. Begitupula adikku, dia hanya bisa bilang kalau semua ini pasti perbuatannya wardah yang sedang marah sama aku. Lagi-lagi adikku itu membuatku dongkol.
Tiga hari berturut-turut kejadian it uterus berlanjut. Aku tidak tahu kapan perbuatan itu dilakukan oleh orag yang tidak bertaggung jawab. Di hari keempat, kebetulan aku pulang kuliah lebih awal. Rupanya adikku juga sudah pulang sebab aku melihat tas ranselnya tergeletak begitu saja di kursi ruang tamu ketika aku masuk tadi.
Ku langkahkan kaki menuju kamarku yang terletak di lantai atas. Dari luar kamar, aku sempat mendengar beberapa benda berjatuhan di dalam ruang pribadiku. Hmmm.. pasti ini orang yang setiap hari mengobrak-abrik kamarku. Lihat saja, aku bakalan bikin perhitungan. Bathin k uterus menggumam walaupun ada sedikit perasaan was-was, takut apa yang dikatakan adikku benar. Bagaimana jika wardah-wardah itu berwujud makhluk halus? Hiiyy.. ah tapi, masa siang bolong begini ada hantu sih? Kubuang perasaan takutku ke tong sampah dekat pintu kamarku. Ku beranikan diri membuka pintu kamarku, dan.
“Acepppp!!” adikku yang sedang memainkan komputerku terlonjak kaget. Sejenak dia memalingkan wajahnya ke arahku. Matanya menatapku, dia Nampak ketakutan lalu ambruk ku dekati tubuh adikku dan langsung mengguncang-gucang badannya.
“Heh bangun, cep! Jangan pura-pura pingsan ya! Ayo bangun, mau nyangkal apa lagi, sekarang sudah jelas siapa yang setiap hari ngacak-ngacak kamar kakak! Bangun cep. Kalau enggak, kakak cubit nih” aku mendaratkan cubitanku dilengannya, dia tetap tak bergerming dengan posisinya. Perasaanku yang tadinya kesal berubah menjadi khawatir, ketika dia benar-benar pingsan. Apa dia shock karena aku datang dan membentaknya secara tiba-tiba?
“acep, bangun cep” lirihku sembari menepuk pipinya pelan.
***
“kak, percaya sama acep kak. Bukan acep yang ngelakuin semuanya,”
“denger ya cep, kakak dari dulu sudah bilang kalau kakak gak suka ada orang yang masuk ke kamar kakak, memakai barang-barang kakak tanpa izin, apalagi ini sampai mengacak-ngacaknya. Kakak gak suka cep, terus siapa lagi kalau bukan kamu yang ngelakuin semuanya”aku tetap bersikeras memaksanya untuk mengaku setelah baru saja adikku bangun dari pingsannya.
“wardah, dia yang ngacak kamar kakak. Tadi aku kesini untuk menyegahnya kak”bantahnya lagi.
“wardah, wardah, wardah? Bagaimana mungkin kamu bisa menuduh orang lain sedangkan yang ada di kamar kakak Cuma kamu cep. Terus bagaimana bisa kamu masuk ke kamar kakak, padahal pintunya sudah kakak kunci?” bentakku kesal.
“Acep juga gak tahu bagaimana caranya dia masuk ke kamar kakak. Dia tiba-tiba pergi begitu saja setelah kakak muncul,”
“yang kakak tanyain tuh bagaimana caranya kamu bisa masuk ke kamar kakak, bukan wardah. Sudahlah kakak capek berdebat sama kamu cep. Kamu jadi aneh cep. Sekarang kamu ke kamar, tunggu sampai mama pulang belanja,” lanjutku menyudahi pertengkaran kami. Acep beranjak dari tempat tidurku dan melangkah gontai menuju kamarnya.
***
Rasa haus di tenggorokanku membuat aku terbangun di tengah malam.kunyalakan lampu kamar kelu, mulutku terkunci rapat tidak bisa mengeluarkan suara sedikitpun. Hanya nafasku saja yang terus memburu, jantungku berdetask kencang demi melihat seorang anak perempuan seumuran adikku kini telah berjalan mendekatiku.
“Namaku wardah, kak hilmy gak usah takut. Aku gak jahat koq, aku gak bakalan ngigit kakak. Aku Cuma pengen ngobrol sama kakak” ucapnya ramah seraya tersenyum manis kearahku. Perlahan-lahan aku bisa mengendalikan diri dan mulai bisa berkata-kata
“Ma..mau ngobrol apa?” tanyaku agak tergagap.
“Sebelumnya aku mau minta maaf karena sudah membuat kak hilmy kaget, dan akhir-akhir ini telah membuat kekacauan dirumah ini. Aku terpaksa memanfaatkan Acep untuk melakukan semua itu,” dia terdiam sejenak kemudian melanjutkan ceritanya.
“Dulu aku hanya bisa mengendalikan pikiran orang lain yang lebih kecil atau seumuran denganku. Sekarang aku mencoba mengendalikan pikiran kakak,”
“mengendalikan pikiran? Maksud kamu?” potongku tak mengerti.
“Ini seperti mimpi, tapi nyata. Sulit untuk aku jelaskan kak. Yang pasti dengan begini aku bisa berinteraksi dengan orang lain, meskipun sebenarnya jasadku sedang tidak berada disini. Aku juga bisa membuat orang lain melakukan apa yang aku inginkan. Seperti akhir-akhir ini, memang acep yang membuat kekacauan, tetapi itu diluar kesadarannya. Di pikran dia, akulah pelakunya. Tetapi di dunia nyata dia sendirilah yang melakukannya,” kata-kata wardah sulit dipercaya. Aku hanya bisa menyimak tanpa berani bertaya lebih jauh.
“Kak Hilmy mungkin belum bisa memahami semua ini. Akan aku jelaskan kenapa aku bisa berinteraksi dengan kakak. Begini kak, aku dilahirkan dalam keadaan tidak normal. Kulitku tidak bisa menahan sinar matahari sehingga membuatku harus tetap berada di ruangan dengan suhu tertentu. Tapi aku diberi kelebihan, yaitu bisa berinteraksi jarak jauh lewat pikiran dengan syarat, bagian tubuhku ada ditempat itu. Mungkin kakak masih ingat, apa yang membuat kakak trauma dengan laut,” ucapannya memaksaku untuk memutar memori ke kejadian setahun yang lalu.
Ketika itu, aku dan teman-temanku pergi ke pantai Cipatujah yang berada dikawasan Jawa Barat. Aku bersenang-senang disana dengan cara seperti anak Punk, aku kesana buka dengan kendaraan pribadi. Malahan aku gak bawa uang sepeserpun. Aku dan teman-temanku menempuh pantai Cipatujah dengan menumpang ke Mobil yang mengangkut kami, baik itu truk atau sebuah pick up. Akhirnya sampai juga dipantai Cipatujah, tapi tiba-tiba sesuatu yang buruk menimpaku. Pada saat kami berenang melawan ombak yang cukup pasang, kakiku kram dan sulit digerakan. Teman-temanku sudah jauh dari pandangan, aku terpisah dari mereka dan terseret ombak sampai ke tengah laut. Sesekali aku berteriak meminta tolong. Ombak yang pasang membuatku terombang-ambing sampai akhirnya bagian mataku terbentur karang hingga mengeluarkan banyak darah. Beruntung aku segera diselamatkan oleh penjaga pantai yang denga sigap memberikanku pertolongan pertama sebelum diboyong ke rumah sakit.
Seharian aku berbaring di rumah sakit. Sebelah mataku masih dibalut perban. Setelah perbannya dibuka, aku menjerit karena penglihatan mata kiriku sudah hilang. Aku hanya melihat dengan mata sebelah kanan saja. Kata dokter, kornea mataku telah rusak dan untuk menyembuhkannya, aku harus dioperasi. Tetapi operasi itu tidak dapat dilakukan sampai ada orang yang mau mendonorkan kornea matanya untukku.
Seminggu kemudian, aku dibawa ke Jakarta untuk menjalani operasi disana. Dari dokter kenalan papaku disana katanya ada seorang pasien yang bersedia mendonorkan kornea matanya untukku. Akhirnya akupun berhasil menjalani operasi kornea mataku dengan sukses. Aku sangat bersyukur mataku telah kembali normal. Aku sangat berterima kasih, ini semua berkat do’anya mama alfi, papa ali dan Jagoan Kecilku Acep. Dan tidak lupa kepada seseorang yang telah mendonorka kornea matanya untukku. Sejak kejadian itu, pantai menjadi tempat mengerikan baiku.
“Kornea mataku ada di mata kakak, makannya aku berada ditempat ini dan bisa berinteraksi dengan Acep dan kakak” Ucapannya membuyarkan lamunanku.
“Ap..apa kamu masih hidup wardah? Atau..”
“Aku masih hidup kak. Tapi keadaanku semakin hari semakin memburuk. Sebelum aku pergi, aku ingin sekali melihat laut. Kata mamahku, laut itu indah. Aku ingin pergi kesana kak, tapi itu mustahil. Hanya dengan kak hilmy pergi kesana, aku bisa melihat indahnya laut. Kakak mau kan?.,Please.. aku janji, setelah itu aku nggak bakalan ganggu kakak sama Acep lagi,” lirihnya memohon kepadaku.
“Iya wardah, kakak bakalan ke sana walaupun kakak masih takut. Demi kamu, kakak mau melakukannya. Kamu sangat baik sama kakak dan mungkin apa yag kak Hilmy lakuin belum sebanding dengan pengorbanan kamu untuk kakak. Terimakasih banyak wardah, kamu sudah mau mendonorkan kornea matanya untuk kak Hilmy,” senyumanku dibalas dengan senyuma manisnya.
“Terimakasih kak,” dia memelukku erat lalu sosoknya tiba-tiba menghilang entah kemana. Aku tertegun , menatap sekeliling ruang kamarku yang hening. Apa barusan itu nyata atau hanya sekedar mimpi? Mungkin inilah yang selalu dialami adikku Acep.
***
Angin semilir pantai terasa sejuk walaupun awalnya aku merasa gugup karena rasa takut masih menyergapku. Untungnya, dengan tekadku yang besar untuk mewujudkan mimpi peri kecil penolongku dan tentu saja berkat dorongan semangat sahabatku Arah dan adikku Acep juga, aku bisa mengusir rasa trauma secara perlahan. Kini aku telah berani berdiri sendiri dibibir pantai, membiyarkan air laut menggerayangi telapak kakiku. Awalnya aku tidak mau melakukan hal ini. Namun dengan sabar Arah dan Acep menuntunku mendekati bibir pantai yang pada akhirnya aku bisa melewati ketakutanku sendiri.
“Kak Arah.. Ayo kejar aku..!!”teriak adikku gembira. Dia dan Arah masih asyi berkejar-kejaran di pinggir pantai. Setelah luas memandangi laut lepas, kuputuskan untuk beristirahat di atas tikar yang sengaja kami sewa.
“bagaimana sekarang my?” tanpa kusadari, Arah sudah ikut duduk disebelahku. Nafasnya masih ngos-ngosan karena kecapean.
“Jauh lebih baik,” sahutku. Mataku tak lepas dari sosok adikku yangkini sedang asyik membuat istana dari pasir.
“Adik lo kelihatannya seneng banget ya?”
Tentu Rah,dia lagi asyik main pasir bareng wardah,”
“wardah?” Arah terbengong-bengong. Dimatanya, acep sedang bermain sendirian. Tapi dalam pandanganku Acep sedang asyik bermain pasir dengan sahabatnya, wardah.
“kadang apa yang lo lihat nggak seperti yang gue lihat,Rah”tuturku meyakinkannya. Sebelumnya, aku memang telah bercerita tentang Wardah dan alasanku untuk nekat pergi ke pantai bersamanya.
“Lihat!Mereka berdua sedang kejar-kejaran. Acep merusak istana pasir wardah dan itu membuat wardah kesal..” tawaku riang.
“Hmm.. gue Cuma lihat adik lo lari-lari sendiri sambil tertawa sendirian,”celetuknya membuatku kembali terkekeh.
Hari semakin sore, setelah membersihkan diri dan makan Ayam bakar di sebuah restoran pinggir pantai, kami memutuskan untuk pulang. Tidak lupa kami bertiga mengamati sunset dulu. Indah, sangat indah. Kami larut dalam lamunan masing-masingketika memandangi semburat cahaya kuning sunset itu. Hatiku terasa damai dan begitu tenang, setenang air laut yang mulai surut. Setenang adikku dan Arah yang ikut terbawa suasana. Angin semilir pinggir pantai seolah membawa angan-angan ke tengah laut lepas.
“Wardah, semoga kamu melihat dan menikmatinya juga,”gumamku penuh harap. Seolah mendapatkan bisikan misterius, aku mendengar suara Wardah ditelingaku.
“Terimakasih kak, hari ini aku sangat bahagia. Ternyata benar kata mamaku, pantai itu sangat menakjubkan. Indah sekali kak,”perlahan-lahan suara tawa riang Wrdah menghilang bersamaan dengan hilangnya sunset dari penglihatanku.
***
Di perjalanan pulang, hari telah berubah gelap. Aku dan Acep duduk di jok belakang, sedangkan Arah di depan dan mobilnya di kemudikan oleh supir aku, Pak Ucup. Arah dengan asyiknya mendengarkan music yang diputarnya. Ku lirik adikku yang duduk disampingku, sudah tidur dengan pulasnya. Kepalanya bersandar dipundakku.
Entah karena melihat adikku terlelap, aku jadi ikut-ikutan mengantuk dan akhirnya menyusul Acep kea lam bawah sadar. Tidak lama berselang, aku seperti berada dirumah yang sangat besar dan mewah. Barang-barang yang antic dan elektronik terpajang diruangan itu. Disebuah anak tangga yang paling bawah, aku melihat Wardah berdiri seraya tersenyum manis kearahku. Wardah tampak menggunakan gaun berwarna merah yang sangat indah. Dia terlihat sangat cantik dan anggun dengan pakaian itu.
“Ini rumahku kak, Acep sudah berada diatas. Ayo kak!.”tanpa ajakan Wardah yang kedua kalinya, aku langsung mengikuti kemana dia pergi. Menaiki anak tangga demi anak tangga yang lumayan banyak. Dua lantai telah kami lalui dan tibalah kami disebuah kamar yang tidak kalah besar dari ruangan yang lainya. Aku dan Wrdah langsung masuk kesana. Seketika aku merasakan suhu diruangan ini terasa dingin menusuk kulit. Kamarnya sungguh aneh, tidak ada perabotan apa-apa disini. Di tengah-tengah ruangan ada ruangan lagiyang seluruhnya terbuat dari kaca bening. Aku bisa melihat ke dalam ruang berdinding yang serba kaca itu. Hanya ada sebuah tempat tidur yang besar dan peralatan kedokteran yang canggih disana. Diatas tempat tidu itu terbaring sesosok orang yang sama sekali tidak aku kenali. Seluruh tubuhnya dibalut oleh perban seperti mummy. Adikku juga tampaknya sedang mengamatitubuh yang terbaring itu dari balik kaca.Acep tidak menyadari kehadiranku yang bediri agak jauh dibelakangnya. Karena rasa penasaranku yang besar, akupun memberanikan diri untuk bertanya kepada Wardah.
“Wardah, siapa dia? Koq badannya dibalut perban seperti mummy? Apakah dia sudah meninggal?” tanyaku ingin tahu.
“Itu jasadku kak, aku kan sudah bilang kalau kulitku tidak kuat jika berada di suhu yang hangat. Makannya ruangan ini sengaja dibuat dingin. Setiap hari aku harus gati perbansupaya kulitku tetap lembab. Aku sedih kak, mama papaku sudah mengeluarkan biaya yang banyak untuk merawatku. Aku tidak mau menyusahkan mereka lagi. Aku juga sudah merepotkan Acep dan Kak Hilmy. Aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan, dan inilah saatnya aku untuk pergi”
“Jangan berbicara seperti itu Wardah, Semua penyakit itu pasti ada obatnya. Kamu tidak pernah merepotkan siapapun. Mama papamu melakukannya karena mereka sayang padamu, dan kamu tidak pernah merepotkan kakak dan Acep. Malah kakak hutang budi sama kamu, wardah”
“iya aku tahu kak, tapi aku harus pergi kak.” Wardah menatapku sedih. Kupalingkan wajahku kearah adikku. Acep mulai menyadari kedatanganku dan langsung menghambur kearah kami.
“Wardah, jangan pergi. Jangan tinggalin aku” lirihnya terdengar parau.
“Maafin aku cep, kamu jangan sedih ya. Suatu saat kita pasti bertemu lagi cep,”
“nggak Wardah, aku nggak mau kehilangan kamu. Kamu nggak boleh pergi, hiks hiks,” adikku mulai terisak.
“Sudahlah cep, kamu jangan nangis, aku bakalan berat ninggalin kalian,” Wardah memeluk adikku erat.
“Tapi Wardah..”
“Ssttt.. Lihat aku cep! Aku ingin melihat kamu tersenyum untuk yang terakhir kalinya. Ayo cep, kamu jangan nangis lagi,” Wardah menghapus air mata adikku dengan jari-jarinya. Walaupun terpaksa, adikku tersenyum juga, membuat Wardah ikut memberikan senyum termanisnya kearah adikku dan aku.
“Kak Hilmy, Acep, terimakasih buat semuanya. Selamat tinggal kak, selamat tinggal cep, aku bakalan kangen banget sama kalian,”
“Wardah..!!” suaraku dan acep yang keluar secara bersamaan. Kami berusaha mencegahnya untuk pergi. Namun sosok wardah perlahan-lahan mulai menjauh dari pandangan kami. Dia terus melambaikan tangannya kearah aku dan Acep. Ekspresi wajahnya terlihat begitu bahagia. Setelah sosoknya benar-benar menghilang, aku menggenggam tangan adikku dan mengajaknya keluar dari ruangan itu.
“Ayo cep, kita harus pergi dari sini,” aku menyeret adikku yang masih enggan meninggalkan kamar wardah. Matanya masih tertuju kearah jasad Wardah yang terbaring dibalik dinding kaca. Setibanya dipintu keluar, adikku melepaskan pegangan tanganku kemudian mendorongku keluar dari sana. Lalu dengan cepat, dia mengunci pintunya dari dalam.
“Maafin Acep kak, Acep pengen tetap disini nemenin wardah,” teriaknya dari balik pintu kamar.
“Cep.. buka cep, kita harus pulang. Buka pintunya cep!!” aku menggedor-gedor pintu dan berusaha mendobraknya. Pintu itu tetap kokoh dan tidak bisa roboh. Tenaga ku tidak cukup kuat untuk menghancukannya.
“Cep, buka pintunya cep. Relakan wardah pergi cep, dia sudah nggak ada. Ayo buka pintunya cep, kakak mohon,” aku terus berusaha membujuknya. Namun suara adikku sudah tidak terdengar lagi. Aku menangis dibalik pintu karena memikirkan adikku. Dia memang sudah menganggap Wardah itu sahabat sejatinya, ataukah mungkin lebih dari sahabat. Beberapa saat kemudian kepalaku mulai terasa berputar, tubuhku seperti terbang meninggalkan rumah mewah itu. Dari sebuah jendela kamar, aku masih bisa melihat sosok adikku melambaikan tangannya kearahku.
“Aceeeepppp..!!” teriakku memanggilnya. Adikku tetap tidak menghiraukan aku. Dia hanya memberikan senyuman hambarnya untukku.
“Aceeeppp…!!!”
“My, bangun my! Lo nggak apa-apa kan?” dan mendapati tubuhku masih berada di dalam mobil.
“Rah, kita dimana? “tanyaku masih setengah sadar. Keringat dingin terus membanjiri tubuhku dan aku langsung melihat sekelilingku. Acep masih terlelap disampingku. Fiyuuuhh.. syukurlah, ternyata Cuma mimpi buruk. Perasaanku langsung terasa lega.
“Masih di jalan My, gue sengaja berhenti dulu soalnya lo teriak-teriak terus, bikin gue takut, kirain lo kesurupan,” arah masih terlihat was-was.
Aku tidak memperdulikan ocehan sahabatku. Kini aku fokus ke tubuh adikku yang masih bersandar di pundakku. Kuraba keningnya dengan punggung telapak tanganku. Dingin, sangat dingin. Itu sedikit khawatir dengan keadaan adikku.
“Cep.. bangun Cep, Acepp,” aku mencoba membangunkannya denga cara mengguncang-guncang pundaknya dan juga menepuk pipinya berulang-ulang. Tubuhnya terasa lemas tak bertenaga.
“Cepp.. bangun Cep,” aku mulai panic. Seketika itu juga aku menangis, memriksa lehernya, memegang pergelangan tangannya yang dingin. Aku tidak merasakan ada denyut nadi disana. Adikku sudah tertidur dan tak pernah bangun lagi.
***
The End
At 2012
“Kak hilmy, bangun kak, udah siang!!” Adikku mengguncang-guncang tubuhku yang masih asyik meringkuk dibalik selimut sambil memeluk guling.
“ahh kakak, kebluk banget sihh mau ke kampus gak kak?” Guncangnya lagi membuat aku kesal karena bibir mungilnya berteriak tepat di telingaku.
“Acep, berisik banget ya pagi-pagi!” bentakku yang terpaksa bangun karena ulahnya barusan.
“Ini sudah siang kak, lihat tuh jam gimana sih?” adikku menunjuk jam weker di meja tepat di samping kasurku.
“ujukupret” aku langsung terhenyak dari tidurku, Demi melihat waktu sudah jam Lima lebih Dua jam. Hari ini ada mata kuliah jam 7. tapi ada sesuatu yang aneh, kenapa jam analog ku gak berdering, perasaan sudah di set jam 6 pagi, dengan penuh penasaran aku langsung mengecek jam weker ku
“Aceppppppppp”
Mendengar teriakanku, adikku langsung terbirit keluar kamar sambil cekakakan, Rupannya si jail itu sudah mengubah settingan alarmku jadi jam 9, emang dasar nyebelin tuh anak, anaknya emang super jail. ini bukan ulah pertamanya, memang ada aja ulah anak unyu ini. Gak aku, mama sama papa juga udah termasuk korban kejailannya. Dia baru kelas satu SMP umurnya 12 tahun. Dia biasa aku panggil deblo (dede belo) karena matanya itu belo, sama sih aku juga belo tapi kebeloan aku kalah dari belonya dia.
“sudahlah mi, lagian kamu kebiasaan susah bangun, makannya jangan Cuma ngandelin jam weker doank, kan hape kamu juga ada alarmnya” nasehat mama alfi di meja makan ketika kami sedang sarapan, sedangkan adikku masih saja cekikikan di kursi, dia memang sedang libur sekolah
“iya mah, tapi jam weker ku diiii” omongan ku segera di potong acep yang duduk di sebelahku.
“iyaa tuh kak, kakak kan males bangunnya suka kesiangan” potong adikku
“bukan gitu mah, tapiii” penjelasanku yang kini di potong sama papah ali
“udah berisik hilmy, acep setiap hari kalian ribut mulu, cepetan hilmy entar kesiangan, papah juga udah telat ke kantor” potong papah Ali yang membuat aku dan acep berhenti berdebat.
Aku pun buru-buru nyelsain sarapan dengan meminum segelas air putih dan satu gigit roti isi.
“mah, hilmy berangkat dulu ya mah” aku mencium tangan mamahku yang bawel ini, kemudian aku menghampiri Acep
“awas yaa cep, entar kakak balas lebih kejam, lebih tajam setajam golok” bisikku ke telinga acep. Acep hanya tertawa kegirangan, aku cubit aja pipinya eh dia malah kabur, sepertinya dia sudah tau, soalnya setiap pagi pasti tuh aku cubit pipinya, emang dasar nyebelin.
Akhirnya aku berangkat ke kampus, dengan langkah tergesa-gesa. Dan seperti biasa meskipun kami ribut tapi kami tidak lupa untuk bersalaman khas kami.
***
“mi, adek lo mana? katanya lo mau ngajak dia” dengan langkah tergesa Sarah menghampiriku yang sudah menunggunya dari tadi. Sarah itu sahabat aku, aku dan Sarah emang sudah janjian di mall ini, kami sengaja memilih foodcurt di lantai paling atas sebagai tempat pertemuan kami, selain bisa santai, kami juga bisa browsing dan Interneta sepuasnya, karena dilengkapi dengan fasilitas Wi Fi. (Sponsor)
“Jauh udah nunggu lama gue, sampe nih pantat akaran yang elu tanyain adek gue!” rututku kesal yang langsung disambut tawa kecil sahabatku itu.
“yaa maaf abisnya gue kangen banget sama si deblo, tadi di jalan gue kejebak macet brow. Oh ya, katanya ada yang mau di ceritain, apaan tuh?”mendengar colettahannya, aku langsung membuang ekspresi cemberutku kemudian menarik nafas sejenak.
“gini rah, akhir-akhir ini ada yang aneh dengan adek gue, kamar gue sama kamar dia kan bersebelahan, beberapa hari ini gue sering denger acep ngomong sendirian dikamarnya, kaya tadi malam dia masih ngobrol sama seseorang, kayanya obrolannya itu ada hubungan sama gue”aku mulai bercerita apa yang aku alami tadi malam, ya akhir-akhir ini acep jadi aneh suka ngomong sendirian.
“yaa hilmy, dia kan masih kecil. Di usianya yang sekarang itu hal yang wajar, biasanya mereka punya teman sendiri, yaitu yang ada dalam pikirannya, gue juga waktu kecil gitu suka ngomong sendirian,” Sarah Nampak tenang mendengar ceritaku.
“Tapi rah, teman acep itu kaya yang benar-benar ada. Gue ngerasain sesuatu yang aneh dengan sikap adik gue”lanjutku cemas.
“sudahlah mi, dia gak apa-apa koq, percaya sama gue. Dia tuh calon handal abad ini” terangnya bangga sambil terkikik, aku hanya tersenyum kecil melihat ulahnya. Pikiranku masih diselimuti pertanyaan-pertanyaan aneh tentang adikku. Sebenernya aku sudah bicarain hal ini sama mamah alfi, dan jawabannya percis seperti Sarah barusan, katanya dulu juga aku begitu suka ngomong sendirian.
“Hai acep, dari mana saja kamu!?”
“Hai kak Sarah, barusan acep baru maen dari sana”adikku menunjuk suatu tempat permainan yang ada di sebelah kanan tempat kami duduk.
“kak arah, katanya kemaren mau beliin acep Es krim Magnum Gold (*Sponsor), mana nih?”
“hush, kamu masih inget aja yaa? Itu kan janji kak arah setahun yang lalu”aku pura-pura menegur adikku, niatnya sih mau menyindir arah,
“iyaa deh deblo, entar kakak beliin” Ujar arah seraya mencubit kecil pipi adikku.
“oh ya cep, semalam kamu mimpi apa? Koq sampai kamu ngomong sendirian!” mendengar pertanyaanku, adikku langsung terhenyak, dia memandangku sejenak dan menyeruput milkshake pesenannya tadi di meja, aku dan arah hanya memperhatikan ulah acep, sambil menunggu jawabanya.
“Namanya wardah, dia teman baruku, dia seumuran dengan ku, setiap malam wardah datang ke kamarku, kami slalu main sama-sama, aku ajarin dia maen game di laptop, atau ngobrol, pokoknya dia bakalan pergi kalau aku sudah ngantuk”penjelasan adikku membuat aku tercengang, Sarah memandangku sambil mengerutkan keningnya mengangkat bahu tanda tak mengerti.
“apa dia nyata, atau hanya ada dalam imajinasi kamu saja cep?”Tanya sarah mulai penasaran.
“tentu saja nyata, memangnya kenapa sih kak?”volume suara adikku sedikit mengeras, nampaknya dia tidak suka kami mengintrogasinya.
“kakak ngerasa aneh aja cep, dia datang dari mana coba, koq tiba-tiba muncul dikamar kamu?”aku juga ingin semakin tahu, apa munkin sahabat adikku itu hantu? Hihiiyyy
“Acep juga gak tau kak, kadang dia muncul dari lemariku, katanya dia seharian ngumpet disitu, kadang mengetuk pintu dulu, pokoknya sebelum jam dua belas malam dia slalu mengunjungiku”tak ada keraguan di wajah adikku ketika menceritakan teman misteriusnya itu. Tampaknya dia tidak sedang mengarang cerita. Aku jadi khawatir dengan keadaan adikku, siapa sebenarnya temannya itu yang bernama wardah?
***
“wardah, kakakku nggak mungkin mau aku ajak liburan ke pantai. Dia itu trauma sama namanya ombak, pokoknya pasti nggak mau deh,” suara adikku dari kamar sebelah kembali terdengar sayup-sayup di telingaku. Tidak ada sahutan dari lawan bicaranya, aku hanya mendengar suara acep, sepertinya adikku sedang menanggapi perkataan teman barunya yang masih misterius itu. Ku lirik jam wekerku, setengah dua belas malam.
“wardah, jangan donk. Kamu jangan kaya gitu. Mama, papa sama kakakku bisa marah sama aku”lagi-lagi kata-kata yang tidak jelas maksudnya, terlontar dari mulut acep. Karena penasaran, aku beranikan diri untuk menengok ke kamarnya. Aku ingin tahu siapa yang berbincang dengan adikku sebenarnya.
Aku berjalan menuju kamar acep. Sesampainya didepan pintu, aku tidak langsung masuk. Ku rapatkan telingaku di pintu dan sedikit tersentak kaget karena mendengar suara benda jatuh dari dalam.kedengarannya cukup keras ditelingaku.
“BRUKK!!”serta merta aku langsung membuka pintu kamar acep yang memang dibiarkan tidak terkunci.
Hening, hanya suara detak jarum jam dinding bergambar Angry Bird yang aku dengar disana. Aku menatap sekeliling ruangan, sebuauh buku tebal Nampak tergeletak dilantai dekat rak buku. Mungkin itu benda yang aku dengar jatuh tadi. Sedangkan adikku dengan pulasnya terlentang di tempat tidur. Seperti biasa tidurnya gak bisa diam. Bukannya kepala yang ada dibantal, malah kakinya, selimutnya ada dibawah kasur, gulingnya juga, seprainya juga tidak kalah berantakan. Wah…wah…wahhh dasar, tapi acep kalo dibangunin gampang gak susah kaya kakaknya ini.
Kudekati tubuh adikku, wajahnya tampak kelelahan. Kata orang-orang adikku ini sangat lucu da menggemaskan, tapi bagiku adikku ini adik yang bawel nyebelin dan jail. Anak 12 tahun yang hobi banget sama namanya Bola Voly, padahal aku gak suka Bola Voly, lebih suka ke sepak bola tapi gak bisa maennya. Banyak perbedaan dan kesamaan dari kami, perbedaannya adalah dalam dunia bola dia suka Barcelona, aku suka Manchester United, dalam dunia music dia suka lagu Pop, aku suka lagu R&B dan HipHop. Tapi kami juga punya kesamaan yaitu sama-sama bawel, jail dan nyebelin dan kalo berangkat suka pake sepatu didalam rumah, kalo mandi suka lupa bawa handuk, kalo BAB ceboknya harus pake sabun. Di balik perbedaan itu, kami slalu kompak meski kami suka beda pendapat.
Ku dekatkan taganku ke wajahnya,Ku cubit pipi adikku pelan, ternyata perbuatanku membuatnya terbangun.
“kak hilmy?koq ada di kamar acep kak?ngapain”setengah mengantuk, adikku berbicara kepadaku. Adikku mengeliat dan menutupi mulutnya yang mulai menguap.
“tadi kakak denger kamu lagi ngobrol nggak tahu sama siapa. Makanya kakak kesini buat mastiin siapa sebenarnya yang sedang berbicara sama kamu cep,” adikku bangkit dari tidurnya, dia duduk dikasur lalu memandangku lekat-lekat.
“dia sudah pergi kak”sahutnya pendek. Aku semakin bingung dibuatnya. Secepat itukah teman barunya menghilang?padahal tadi diluar kamar, aku masih mendengar obrolannya meskipun telingaku tidak menangkap suara lawan bicara adikku.
“kak hilmy, acep boleh minta sesuatu gak?”aku tersentak dari dunia khayalku.
“minta apa cep”
“mmh.. minggu besok temenin acep ke pantai ya kak?, acep pengen banget liburan ke pantai, kakak mau yaa?”pintanya memelas.
“Pantai? Cep, kamu tahu sendiri kan? Kakak itu phobia sama namanya pantai, kakak sudah nggak mau lagi kesana, kakak takut cep, melihat pantai di tv aja kakak ngeri apalagi datang langsung”
“tapi kak, pantai itu indah. Lagipula wardah pengen banget kakak pergi kesana. Dia nyuruh acep buat ngajak kakak ke pantai, kalau enggak dia bakalan jahat sama aku kak” obrolannya tampak serius, tapi aku masih tidak percaya dengan celotehan adikku.
“dulu pantai itu indah seperti surga, tapi sekarang pantai itu tempat yang mengerikan. Memangnya siapa wardah itu beraninya nyuruh kakak. Pokoknya kakak nggak mau, kalo kamu tetep ngotot kamu ajak aja mama sama papa”
“nggak bisa kak, wardah pengennya kakak ikut”
“wardah lagi, wardah lagi. Sudah lah cep, jangan bicara omong kosong terus, weardah itu cuman teman khayalan kamu, wardah itu nggak nyata”aku tidak menggubris ucapannya
“sudahlah, kakak ngantuk. Kakak mau tidur”aku mengambil bantal guling berwarna merah yang terletak dibawah kasur. Ku rebahkan tubuhku diatas tempat tidur adikku. Serta merta, adikku langsung memprotes ulahku.
“idiiih, kak hilmy, itu kan bantal guling acep. Kak hilmy nyempitin aja nih, acep tidur dimana kak?”teriaknya sembari berusaha merebut bantal gulingnya dari pelukanku. Namun aku mendekap guling kesayangnya yang bergambar barca, aku mendekapnya dengan erat sambil membelakanginya.
“kak hilmy nyebelin”
“hahh ciyuss?? Miapa?, bodo amat ahh, kakak ngantuk nih sudah kamu tidur dibawah aja, lagian tidur kamu itu gak bisa diam, besok pagi juga tahu-tahu kamu udah bangun di bawah, terus guling ini juga buat apa ntar kamu tending-tendang nih guling, kasur sendiri dibikin kapal pecah.. hmmm.. selimutnya juga kakak pakai juga ahh” aku menarik selimut adikku, sempat heran karena tidak suara teriakan protes dari adikku. Ku balikan badanku, eh gak tahunya udah tidur pulas disampingku. Jadi dari tadi aku ngoceh sendirian?Huhhhh dasar adek jail. Wkwkwkwk
***
Hari-hari berikutnya banyak kejadian aneh yg menimpa adikku. Pagi-pagi sebelum berangkat sekolah, pasti ada aja ulahnya. Sepatunya hilang sebelah lah, seragamnya tiba-tiba kotor lah, padahal tuh seragam baru kering kemarin dan semalam baru disetrika.
“Ini pasti ulahnya wardah. Tuh kan bener kan kak? Dia jadi jahat sama aku” teriaknya panic, karena pagi ini, giliran buku PR nya yang raib dari tasnya.
“lahh koq jadi salah kakak? Kamu lupa naro kali cep, coba cari yang bener” ketusku kesal,sebab setiap hari ada aja yang di ributinya dan dia selalu menyalahkan wardah dan aku. Katanya gara-gara aku gak mau di ajak ke pantai, wardah jadi marah sama dia. Huhh, seenaknya saja nyalahin orang lain.
Hari terus berganti dengan berbagai kejadian menyebalkan yang menimpa adikku. Aku tetap tidak menghiraukannpernyataannya yang aku anggap konyol. Mana mungkin teman misteriusnya itu tiba-tiba muncul lalu membuat ulah di rumah ini? Apa itu sangat sunnguh tidak masuk akal? Namun beberapa hari kemudian, giliran aku mengalami kejadian-kejadian aneh. Setiap pulang kuliah, kamarku slalu berantakan. Buku-buku yang ada di rak bertebaran dimana-mana. Ketika aku menanyakannya kepada seluruh penghuni rumah, tak seorangpun yang mengakui perbuatan konyol itu. Begitupula adikku, dia hanya bisa bilang kalau semua ini pasti perbuatannya wardah yang sedang marah sama aku. Lagi-lagi adikku itu membuatku dongkol.
Tiga hari berturut-turut kejadian it uterus berlanjut. Aku tidak tahu kapan perbuatan itu dilakukan oleh orag yang tidak bertaggung jawab. Di hari keempat, kebetulan aku pulang kuliah lebih awal. Rupanya adikku juga sudah pulang sebab aku melihat tas ranselnya tergeletak begitu saja di kursi ruang tamu ketika aku masuk tadi.
Ku langkahkan kaki menuju kamarku yang terletak di lantai atas. Dari luar kamar, aku sempat mendengar beberapa benda berjatuhan di dalam ruang pribadiku. Hmmm.. pasti ini orang yang setiap hari mengobrak-abrik kamarku. Lihat saja, aku bakalan bikin perhitungan. Bathin k uterus menggumam walaupun ada sedikit perasaan was-was, takut apa yang dikatakan adikku benar. Bagaimana jika wardah-wardah itu berwujud makhluk halus? Hiiyy.. ah tapi, masa siang bolong begini ada hantu sih? Kubuang perasaan takutku ke tong sampah dekat pintu kamarku. Ku beranikan diri membuka pintu kamarku, dan.
“Acepppp!!” adikku yang sedang memainkan komputerku terlonjak kaget. Sejenak dia memalingkan wajahnya ke arahku. Matanya menatapku, dia Nampak ketakutan lalu ambruk ku dekati tubuh adikku dan langsung mengguncang-gucang badannya.
“Heh bangun, cep! Jangan pura-pura pingsan ya! Ayo bangun, mau nyangkal apa lagi, sekarang sudah jelas siapa yang setiap hari ngacak-ngacak kamar kakak! Bangun cep. Kalau enggak, kakak cubit nih” aku mendaratkan cubitanku dilengannya, dia tetap tak bergerming dengan posisinya. Perasaanku yang tadinya kesal berubah menjadi khawatir, ketika dia benar-benar pingsan. Apa dia shock karena aku datang dan membentaknya secara tiba-tiba?
“acep, bangun cep” lirihku sembari menepuk pipinya pelan.
***
“kak, percaya sama acep kak. Bukan acep yang ngelakuin semuanya,”
“denger ya cep, kakak dari dulu sudah bilang kalau kakak gak suka ada orang yang masuk ke kamar kakak, memakai barang-barang kakak tanpa izin, apalagi ini sampai mengacak-ngacaknya. Kakak gak suka cep, terus siapa lagi kalau bukan kamu yang ngelakuin semuanya”aku tetap bersikeras memaksanya untuk mengaku setelah baru saja adikku bangun dari pingsannya.
“wardah, dia yang ngacak kamar kakak. Tadi aku kesini untuk menyegahnya kak”bantahnya lagi.
“wardah, wardah, wardah? Bagaimana mungkin kamu bisa menuduh orang lain sedangkan yang ada di kamar kakak Cuma kamu cep. Terus bagaimana bisa kamu masuk ke kamar kakak, padahal pintunya sudah kakak kunci?” bentakku kesal.
“Acep juga gak tahu bagaimana caranya dia masuk ke kamar kakak. Dia tiba-tiba pergi begitu saja setelah kakak muncul,”
“yang kakak tanyain tuh bagaimana caranya kamu bisa masuk ke kamar kakak, bukan wardah. Sudahlah kakak capek berdebat sama kamu cep. Kamu jadi aneh cep. Sekarang kamu ke kamar, tunggu sampai mama pulang belanja,” lanjutku menyudahi pertengkaran kami. Acep beranjak dari tempat tidurku dan melangkah gontai menuju kamarnya.
***
Rasa haus di tenggorokanku membuat aku terbangun di tengah malam.kunyalakan lampu kamar kelu, mulutku terkunci rapat tidak bisa mengeluarkan suara sedikitpun. Hanya nafasku saja yang terus memburu, jantungku berdetask kencang demi melihat seorang anak perempuan seumuran adikku kini telah berjalan mendekatiku.
“Namaku wardah, kak hilmy gak usah takut. Aku gak jahat koq, aku gak bakalan ngigit kakak. Aku Cuma pengen ngobrol sama kakak” ucapnya ramah seraya tersenyum manis kearahku. Perlahan-lahan aku bisa mengendalikan diri dan mulai bisa berkata-kata
“Ma..mau ngobrol apa?” tanyaku agak tergagap.
“Sebelumnya aku mau minta maaf karena sudah membuat kak hilmy kaget, dan akhir-akhir ini telah membuat kekacauan dirumah ini. Aku terpaksa memanfaatkan Acep untuk melakukan semua itu,” dia terdiam sejenak kemudian melanjutkan ceritanya.
“Dulu aku hanya bisa mengendalikan pikiran orang lain yang lebih kecil atau seumuran denganku. Sekarang aku mencoba mengendalikan pikiran kakak,”
“mengendalikan pikiran? Maksud kamu?” potongku tak mengerti.
“Ini seperti mimpi, tapi nyata. Sulit untuk aku jelaskan kak. Yang pasti dengan begini aku bisa berinteraksi dengan orang lain, meskipun sebenarnya jasadku sedang tidak berada disini. Aku juga bisa membuat orang lain melakukan apa yang aku inginkan. Seperti akhir-akhir ini, memang acep yang membuat kekacauan, tetapi itu diluar kesadarannya. Di pikran dia, akulah pelakunya. Tetapi di dunia nyata dia sendirilah yang melakukannya,” kata-kata wardah sulit dipercaya. Aku hanya bisa menyimak tanpa berani bertaya lebih jauh.
“Kak Hilmy mungkin belum bisa memahami semua ini. Akan aku jelaskan kenapa aku bisa berinteraksi dengan kakak. Begini kak, aku dilahirkan dalam keadaan tidak normal. Kulitku tidak bisa menahan sinar matahari sehingga membuatku harus tetap berada di ruangan dengan suhu tertentu. Tapi aku diberi kelebihan, yaitu bisa berinteraksi jarak jauh lewat pikiran dengan syarat, bagian tubuhku ada ditempat itu. Mungkin kakak masih ingat, apa yang membuat kakak trauma dengan laut,” ucapannya memaksaku untuk memutar memori ke kejadian setahun yang lalu.
Ketika itu, aku dan teman-temanku pergi ke pantai Cipatujah yang berada dikawasan Jawa Barat. Aku bersenang-senang disana dengan cara seperti anak Punk, aku kesana buka dengan kendaraan pribadi. Malahan aku gak bawa uang sepeserpun. Aku dan teman-temanku menempuh pantai Cipatujah dengan menumpang ke Mobil yang mengangkut kami, baik itu truk atau sebuah pick up. Akhirnya sampai juga dipantai Cipatujah, tapi tiba-tiba sesuatu yang buruk menimpaku. Pada saat kami berenang melawan ombak yang cukup pasang, kakiku kram dan sulit digerakan. Teman-temanku sudah jauh dari pandangan, aku terpisah dari mereka dan terseret ombak sampai ke tengah laut. Sesekali aku berteriak meminta tolong. Ombak yang pasang membuatku terombang-ambing sampai akhirnya bagian mataku terbentur karang hingga mengeluarkan banyak darah. Beruntung aku segera diselamatkan oleh penjaga pantai yang denga sigap memberikanku pertolongan pertama sebelum diboyong ke rumah sakit.
Seharian aku berbaring di rumah sakit. Sebelah mataku masih dibalut perban. Setelah perbannya dibuka, aku menjerit karena penglihatan mata kiriku sudah hilang. Aku hanya melihat dengan mata sebelah kanan saja. Kata dokter, kornea mataku telah rusak dan untuk menyembuhkannya, aku harus dioperasi. Tetapi operasi itu tidak dapat dilakukan sampai ada orang yang mau mendonorkan kornea matanya untukku.
Seminggu kemudian, aku dibawa ke Jakarta untuk menjalani operasi disana. Dari dokter kenalan papaku disana katanya ada seorang pasien yang bersedia mendonorkan kornea matanya untukku. Akhirnya akupun berhasil menjalani operasi kornea mataku dengan sukses. Aku sangat bersyukur mataku telah kembali normal. Aku sangat berterima kasih, ini semua berkat do’anya mama alfi, papa ali dan Jagoan Kecilku Acep. Dan tidak lupa kepada seseorang yang telah mendonorka kornea matanya untukku. Sejak kejadian itu, pantai menjadi tempat mengerikan baiku.
“Kornea mataku ada di mata kakak, makannya aku berada ditempat ini dan bisa berinteraksi dengan Acep dan kakak” Ucapannya membuyarkan lamunanku.
“Ap..apa kamu masih hidup wardah? Atau..”
“Aku masih hidup kak. Tapi keadaanku semakin hari semakin memburuk. Sebelum aku pergi, aku ingin sekali melihat laut. Kata mamahku, laut itu indah. Aku ingin pergi kesana kak, tapi itu mustahil. Hanya dengan kak hilmy pergi kesana, aku bisa melihat indahnya laut. Kakak mau kan?.,Please.. aku janji, setelah itu aku nggak bakalan ganggu kakak sama Acep lagi,” lirihnya memohon kepadaku.
“Iya wardah, kakak bakalan ke sana walaupun kakak masih takut. Demi kamu, kakak mau melakukannya. Kamu sangat baik sama kakak dan mungkin apa yag kak Hilmy lakuin belum sebanding dengan pengorbanan kamu untuk kakak. Terimakasih banyak wardah, kamu sudah mau mendonorkan kornea matanya untuk kak Hilmy,” senyumanku dibalas dengan senyuma manisnya.
“Terimakasih kak,” dia memelukku erat lalu sosoknya tiba-tiba menghilang entah kemana. Aku tertegun , menatap sekeliling ruang kamarku yang hening. Apa barusan itu nyata atau hanya sekedar mimpi? Mungkin inilah yang selalu dialami adikku Acep.
***
Angin semilir pantai terasa sejuk walaupun awalnya aku merasa gugup karena rasa takut masih menyergapku. Untungnya, dengan tekadku yang besar untuk mewujudkan mimpi peri kecil penolongku dan tentu saja berkat dorongan semangat sahabatku Arah dan adikku Acep juga, aku bisa mengusir rasa trauma secara perlahan. Kini aku telah berani berdiri sendiri dibibir pantai, membiyarkan air laut menggerayangi telapak kakiku. Awalnya aku tidak mau melakukan hal ini. Namun dengan sabar Arah dan Acep menuntunku mendekati bibir pantai yang pada akhirnya aku bisa melewati ketakutanku sendiri.
“Kak Arah.. Ayo kejar aku..!!”teriak adikku gembira. Dia dan Arah masih asyi berkejar-kejaran di pinggir pantai. Setelah luas memandangi laut lepas, kuputuskan untuk beristirahat di atas tikar yang sengaja kami sewa.
“bagaimana sekarang my?” tanpa kusadari, Arah sudah ikut duduk disebelahku. Nafasnya masih ngos-ngosan karena kecapean.
“Jauh lebih baik,” sahutku. Mataku tak lepas dari sosok adikku yangkini sedang asyik membuat istana dari pasir.
“Adik lo kelihatannya seneng banget ya?”
Tentu Rah,dia lagi asyik main pasir bareng wardah,”
“wardah?” Arah terbengong-bengong. Dimatanya, acep sedang bermain sendirian. Tapi dalam pandanganku Acep sedang asyik bermain pasir dengan sahabatnya, wardah.
“kadang apa yang lo lihat nggak seperti yang gue lihat,Rah”tuturku meyakinkannya. Sebelumnya, aku memang telah bercerita tentang Wardah dan alasanku untuk nekat pergi ke pantai bersamanya.
“Lihat!Mereka berdua sedang kejar-kejaran. Acep merusak istana pasir wardah dan itu membuat wardah kesal..” tawaku riang.
“Hmm.. gue Cuma lihat adik lo lari-lari sendiri sambil tertawa sendirian,”celetuknya membuatku kembali terkekeh.
Hari semakin sore, setelah membersihkan diri dan makan Ayam bakar di sebuah restoran pinggir pantai, kami memutuskan untuk pulang. Tidak lupa kami bertiga mengamati sunset dulu. Indah, sangat indah. Kami larut dalam lamunan masing-masingketika memandangi semburat cahaya kuning sunset itu. Hatiku terasa damai dan begitu tenang, setenang air laut yang mulai surut. Setenang adikku dan Arah yang ikut terbawa suasana. Angin semilir pinggir pantai seolah membawa angan-angan ke tengah laut lepas.
“Wardah, semoga kamu melihat dan menikmatinya juga,”gumamku penuh harap. Seolah mendapatkan bisikan misterius, aku mendengar suara Wardah ditelingaku.
“Terimakasih kak, hari ini aku sangat bahagia. Ternyata benar kata mamaku, pantai itu sangat menakjubkan. Indah sekali kak,”perlahan-lahan suara tawa riang Wrdah menghilang bersamaan dengan hilangnya sunset dari penglihatanku.
***
Di perjalanan pulang, hari telah berubah gelap. Aku dan Acep duduk di jok belakang, sedangkan Arah di depan dan mobilnya di kemudikan oleh supir aku, Pak Ucup. Arah dengan asyiknya mendengarkan music yang diputarnya. Ku lirik adikku yang duduk disampingku, sudah tidur dengan pulasnya. Kepalanya bersandar dipundakku.
Entah karena melihat adikku terlelap, aku jadi ikut-ikutan mengantuk dan akhirnya menyusul Acep kea lam bawah sadar. Tidak lama berselang, aku seperti berada dirumah yang sangat besar dan mewah. Barang-barang yang antic dan elektronik terpajang diruangan itu. Disebuah anak tangga yang paling bawah, aku melihat Wardah berdiri seraya tersenyum manis kearahku. Wardah tampak menggunakan gaun berwarna merah yang sangat indah. Dia terlihat sangat cantik dan anggun dengan pakaian itu.
“Ini rumahku kak, Acep sudah berada diatas. Ayo kak!.”tanpa ajakan Wardah yang kedua kalinya, aku langsung mengikuti kemana dia pergi. Menaiki anak tangga demi anak tangga yang lumayan banyak. Dua lantai telah kami lalui dan tibalah kami disebuah kamar yang tidak kalah besar dari ruangan yang lainya. Aku dan Wrdah langsung masuk kesana. Seketika aku merasakan suhu diruangan ini terasa dingin menusuk kulit. Kamarnya sungguh aneh, tidak ada perabotan apa-apa disini. Di tengah-tengah ruangan ada ruangan lagiyang seluruhnya terbuat dari kaca bening. Aku bisa melihat ke dalam ruang berdinding yang serba kaca itu. Hanya ada sebuah tempat tidur yang besar dan peralatan kedokteran yang canggih disana. Diatas tempat tidu itu terbaring sesosok orang yang sama sekali tidak aku kenali. Seluruh tubuhnya dibalut oleh perban seperti mummy. Adikku juga tampaknya sedang mengamatitubuh yang terbaring itu dari balik kaca.Acep tidak menyadari kehadiranku yang bediri agak jauh dibelakangnya. Karena rasa penasaranku yang besar, akupun memberanikan diri untuk bertanya kepada Wardah.
“Wardah, siapa dia? Koq badannya dibalut perban seperti mummy? Apakah dia sudah meninggal?” tanyaku ingin tahu.
“Itu jasadku kak, aku kan sudah bilang kalau kulitku tidak kuat jika berada di suhu yang hangat. Makannya ruangan ini sengaja dibuat dingin. Setiap hari aku harus gati perbansupaya kulitku tetap lembab. Aku sedih kak, mama papaku sudah mengeluarkan biaya yang banyak untuk merawatku. Aku tidak mau menyusahkan mereka lagi. Aku juga sudah merepotkan Acep dan Kak Hilmy. Aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan, dan inilah saatnya aku untuk pergi”
“Jangan berbicara seperti itu Wardah, Semua penyakit itu pasti ada obatnya. Kamu tidak pernah merepotkan siapapun. Mama papamu melakukannya karena mereka sayang padamu, dan kamu tidak pernah merepotkan kakak dan Acep. Malah kakak hutang budi sama kamu, wardah”
“iya aku tahu kak, tapi aku harus pergi kak.” Wardah menatapku sedih. Kupalingkan wajahku kearah adikku. Acep mulai menyadari kedatanganku dan langsung menghambur kearah kami.
“Wardah, jangan pergi. Jangan tinggalin aku” lirihnya terdengar parau.
“Maafin aku cep, kamu jangan sedih ya. Suatu saat kita pasti bertemu lagi cep,”
“nggak Wardah, aku nggak mau kehilangan kamu. Kamu nggak boleh pergi, hiks hiks,” adikku mulai terisak.
“Sudahlah cep, kamu jangan nangis, aku bakalan berat ninggalin kalian,” Wardah memeluk adikku erat.
“Tapi Wardah..”
“Ssttt.. Lihat aku cep! Aku ingin melihat kamu tersenyum untuk yang terakhir kalinya. Ayo cep, kamu jangan nangis lagi,” Wardah menghapus air mata adikku dengan jari-jarinya. Walaupun terpaksa, adikku tersenyum juga, membuat Wardah ikut memberikan senyum termanisnya kearah adikku dan aku.
“Kak Hilmy, Acep, terimakasih buat semuanya. Selamat tinggal kak, selamat tinggal cep, aku bakalan kangen banget sama kalian,”
“Wardah..!!” suaraku dan acep yang keluar secara bersamaan. Kami berusaha mencegahnya untuk pergi. Namun sosok wardah perlahan-lahan mulai menjauh dari pandangan kami. Dia terus melambaikan tangannya kearah aku dan Acep. Ekspresi wajahnya terlihat begitu bahagia. Setelah sosoknya benar-benar menghilang, aku menggenggam tangan adikku dan mengajaknya keluar dari ruangan itu.
“Ayo cep, kita harus pergi dari sini,” aku menyeret adikku yang masih enggan meninggalkan kamar wardah. Matanya masih tertuju kearah jasad Wardah yang terbaring dibalik dinding kaca. Setibanya dipintu keluar, adikku melepaskan pegangan tanganku kemudian mendorongku keluar dari sana. Lalu dengan cepat, dia mengunci pintunya dari dalam.
“Maafin Acep kak, Acep pengen tetap disini nemenin wardah,” teriaknya dari balik pintu kamar.
“Cep.. buka cep, kita harus pulang. Buka pintunya cep!!” aku menggedor-gedor pintu dan berusaha mendobraknya. Pintu itu tetap kokoh dan tidak bisa roboh. Tenaga ku tidak cukup kuat untuk menghancukannya.
“Cep, buka pintunya cep. Relakan wardah pergi cep, dia sudah nggak ada. Ayo buka pintunya cep, kakak mohon,” aku terus berusaha membujuknya. Namun suara adikku sudah tidak terdengar lagi. Aku menangis dibalik pintu karena memikirkan adikku. Dia memang sudah menganggap Wardah itu sahabat sejatinya, ataukah mungkin lebih dari sahabat. Beberapa saat kemudian kepalaku mulai terasa berputar, tubuhku seperti terbang meninggalkan rumah mewah itu. Dari sebuah jendela kamar, aku masih bisa melihat sosok adikku melambaikan tangannya kearahku.
“Aceeeepppp..!!” teriakku memanggilnya. Adikku tetap tidak menghiraukan aku. Dia hanya memberikan senyuman hambarnya untukku.
“Aceeeppp…!!!”
“My, bangun my! Lo nggak apa-apa kan?” dan mendapati tubuhku masih berada di dalam mobil.
“Rah, kita dimana? “tanyaku masih setengah sadar. Keringat dingin terus membanjiri tubuhku dan aku langsung melihat sekelilingku. Acep masih terlelap disampingku. Fiyuuuhh.. syukurlah, ternyata Cuma mimpi buruk. Perasaanku langsung terasa lega.
“Masih di jalan My, gue sengaja berhenti dulu soalnya lo teriak-teriak terus, bikin gue takut, kirain lo kesurupan,” arah masih terlihat was-was.
Aku tidak memperdulikan ocehan sahabatku. Kini aku fokus ke tubuh adikku yang masih bersandar di pundakku. Kuraba keningnya dengan punggung telapak tanganku. Dingin, sangat dingin. Itu sedikit khawatir dengan keadaan adikku.
“Cep.. bangun Cep, Acepp,” aku mencoba membangunkannya denga cara mengguncang-guncang pundaknya dan juga menepuk pipinya berulang-ulang. Tubuhnya terasa lemas tak bertenaga.
“Cepp.. bangun Cep,” aku mulai panic. Seketika itu juga aku menangis, memriksa lehernya, memegang pergelangan tangannya yang dingin. Aku tidak merasakan ada denyut nadi disana. Adikku sudah tertidur dan tak pernah bangun lagi.
***
The End
0 komentar: